Bogor (KM) - Pagi yang cantik! Kabut tipis menyapu lembah areal perkebunan kopi. Tanpa angin, pohon-pohon itu terlihat membeku. Sang surya menurunkan awan yang menyelimutinya, melantaskan cahaya, menoreh gurat emas pada kabut. Perlahan, sinarnya sampai juga dipucuk pohon Dadap.
Keluarga Anis merah
Disitu, seekor Merbah cerucuk telah menanti. Cahaya itu menjadi tombol “play” bagi sang Merbah untuk melantunkan lagu selamat paginya. Sementara seekor Cinenen kelabu terlihat buru-buru mencercap nektar dari bunga Dadap, khawatir Burung madu sriganti akan merebutnya. Burung kacamata hanya wira-wiri diantara ranting-ranting pohon cengkeh, mungkin sedang lari pagi. Menyambut lantunan merdu sang Merbah, sepasang Cipoh kacat, seekor Kucica kampung, dan Srigunting berpaduan suara mengiringi tarian “mabok” sang pejantan Anis merah.
Sisa embun semalam menyatu menjadi tetes air, jatuh di sayap seekor anakan Anis merah yang lelap di sarang. Segera ia menggeliat, merentangkan sayap kanannya mencari kehangatan dari cahaya matahari yang jatuh di sisi sarangnya. Tak ayal, ulahnya ini membangunkan dua saudaranya yang masih nyenyak.
Mulut mereka berdua menganga, mengira induknya datang membawa cacing. Merasa tertipu, mereka berdua segera kembali menyandarkan kepala. Sial-lah yang didapat pemalas, semenit kemudian si induk datang membawa cacing. Hanya yang terjaga yang menikmatinya. “Trimakasih embun, berkat kau kenyanglah aku pagi ini”, kira-kira begitulah ia berguman.
Perkebunan kopi di Bali
Sekitar 300 meter dari sarang keluarga Anis Merah itu, seekor induk Paok pancawarna masih mengerami tiga ekor telurnya. Tidak lebih dari lima belas menit, sang jantan datang menggantikan sang betina yang harus sarapan pagi. Tak berapa lama, sang jantan nampak gelisah. Duduknya tidak tenang, keningnya sedikit berkerut, dan matanya terus menyelidik ke sekitar sarang. Kemudian ia mengambil posisi jongkok, paruhnya merangsek ke bawah perut, memungut dan menelan sisa-sisa cangkang telur. Di bawah perutnya tiga jabang bayi merah menggeliat-liat tanpa suara. Kembali paruhnya menuju bawah perut. Kali ini ia menciumi kedua anaknya dan melantunkan doa bagi keselamatan mereka. Bersamaan dengan itu, sang betina pun datang turut memberikan kehangatan pada anak-anak nya.
Keluarga Paok pancawarna
Seisi kebun kopi segera saja riuh oleh nyanyian Sikatan belang, Cabe jawa, Pentis pelangi, Cendet, dan bahkan beberapa tetangga yang selama ini belum dikenal oleh keluarga Paok. Mereka semua mengucap syukur atas lahirnya kehidupan baru di muka bumi ini. Keriuhan itu juga mengusir ular dan tupai yang sedari awal tengah mengincar anak-anak keluarga Paok itu…‘Braakkkk….’ suara keras yang berasal dari dentuman dua benda dengan kecepatan tinggi mempercepat degup jantungku.
Kaget, terbangun, dan segera buyar semua mimpi indah tadi, aku melongok keluar jendela kamar, dua orang terkapar bersama motor mereka di gang sempit samping rumah. Kuangkat kepala, menengok ke kanan dan kiri, tak sebatang pohonpun terlihat, di sekitar rumahku hanya belantara bangunan tembok dan gang-gang sempit yang kejam, setiap saat siap merenggut nyawa mereka yang dikejar waktu dan tak hirau akan sesamanya!(ige)
Bogor, 26 mei 2011
Catatan:
Merbah cerucuk sama dengan Trocokan / Jogjog
Cinenen Kelabu sama dengan Prenjak
Burung madu Sriganti sama dengan Kolibri lokal
Burung kacamata sama dengan Pleci
Cipoh kacat sama dengan Cipow
Kucica kampung sama dengan Kacer
Keluarga Anis merah
Disitu, seekor Merbah cerucuk telah menanti. Cahaya itu menjadi tombol “play” bagi sang Merbah untuk melantunkan lagu selamat paginya. Sementara seekor Cinenen kelabu terlihat buru-buru mencercap nektar dari bunga Dadap, khawatir Burung madu sriganti akan merebutnya. Burung kacamata hanya wira-wiri diantara ranting-ranting pohon cengkeh, mungkin sedang lari pagi. Menyambut lantunan merdu sang Merbah, sepasang Cipoh kacat, seekor Kucica kampung, dan Srigunting berpaduan suara mengiringi tarian “mabok” sang pejantan Anis merah.
Sisa embun semalam menyatu menjadi tetes air, jatuh di sayap seekor anakan Anis merah yang lelap di sarang. Segera ia menggeliat, merentangkan sayap kanannya mencari kehangatan dari cahaya matahari yang jatuh di sisi sarangnya. Tak ayal, ulahnya ini membangunkan dua saudaranya yang masih nyenyak.
Mulut mereka berdua menganga, mengira induknya datang membawa cacing. Merasa tertipu, mereka berdua segera kembali menyandarkan kepala. Sial-lah yang didapat pemalas, semenit kemudian si induk datang membawa cacing. Hanya yang terjaga yang menikmatinya. “Trimakasih embun, berkat kau kenyanglah aku pagi ini”, kira-kira begitulah ia berguman.
Perkebunan kopi di Bali
Sekitar 300 meter dari sarang keluarga Anis Merah itu, seekor induk Paok pancawarna masih mengerami tiga ekor telurnya. Tidak lebih dari lima belas menit, sang jantan datang menggantikan sang betina yang harus sarapan pagi. Tak berapa lama, sang jantan nampak gelisah. Duduknya tidak tenang, keningnya sedikit berkerut, dan matanya terus menyelidik ke sekitar sarang. Kemudian ia mengambil posisi jongkok, paruhnya merangsek ke bawah perut, memungut dan menelan sisa-sisa cangkang telur. Di bawah perutnya tiga jabang bayi merah menggeliat-liat tanpa suara. Kembali paruhnya menuju bawah perut. Kali ini ia menciumi kedua anaknya dan melantunkan doa bagi keselamatan mereka. Bersamaan dengan itu, sang betina pun datang turut memberikan kehangatan pada anak-anak nya.
Keluarga Paok pancawarna
Seisi kebun kopi segera saja riuh oleh nyanyian Sikatan belang, Cabe jawa, Pentis pelangi, Cendet, dan bahkan beberapa tetangga yang selama ini belum dikenal oleh keluarga Paok. Mereka semua mengucap syukur atas lahirnya kehidupan baru di muka bumi ini. Keriuhan itu juga mengusir ular dan tupai yang sedari awal tengah mengincar anak-anak keluarga Paok itu…‘Braakkkk….’ suara keras yang berasal dari dentuman dua benda dengan kecepatan tinggi mempercepat degup jantungku.
Kaget, terbangun, dan segera buyar semua mimpi indah tadi, aku melongok keluar jendela kamar, dua orang terkapar bersama motor mereka di gang sempit samping rumah. Kuangkat kepala, menengok ke kanan dan kiri, tak sebatang pohonpun terlihat, di sekitar rumahku hanya belantara bangunan tembok dan gang-gang sempit yang kejam, setiap saat siap merenggut nyawa mereka yang dikejar waktu dan tak hirau akan sesamanya!(ige)
Bogor, 26 mei 2011
Catatan:
Merbah cerucuk sama dengan Trocokan / Jogjog
Cinenen Kelabu sama dengan Prenjak
Burung madu Sriganti sama dengan Kolibri lokal
Burung kacamata sama dengan Pleci
Cipoh kacat sama dengan Cipow
Kucica kampung sama dengan Kacer
0 komentar:
Posting Komentar