Kamis, 06 Oktober 2011

NILAI ETIS DAN ESTETIS PELIHARAAN SAYA


Orang menyebutnya Ayam Bangkok, meski belum tentu memiliki hubungan geneaologi yang dekat dengan ayam-ayam dari Bangkok, Thailand. Ayam Bangkok adalah nama untuk ayam-ayam petarung yang memiliki bobot badan lebih binggi dari rata-rata ayam kampung, memiliki pertulangan dan perototan yang lebih besar, berperawakan gagah, bermata tajam, dan memiliki suara kokok yang besar dan serak.

Sebetulnya, Ayam Bangkok asli Thailand, Ayam Bangkok lokal, dan Ayam Kampung khas Indonesia, memiliki moyang yang sama, yaitu Ayam Hutan Merah (Red Jungle Fowl). Beberapa penelitian membuktikan, dari tetua Ayam Kampung biasa, dapat dihasilkan turunan-turunan yang memiliki performen yang sama dengan Ayam Bangkok dari Thailand melalui teknik seleksi sederhana, misalnya line breeding atau mass breeding. Salah satu peneliti yang saya ketahui telah berhasil membuktikan hal ini adalah Ir. Surono Danu dari Lampung Tengah. Ayam Bangkok ‘rekayasa’ dapat dibuat benar-benar mirip aslinya, misalnya bobot pukulan yang berat, warna merah yang cerah dan menyala disertai bulu hitam yang agak bule atau kekuning-kuningan, adanya bulu rawis di pangkal paha, suara yang berat dan serak, tahan pukul, berototan dan pertulangan yang besar dan kasar, serta tipe gaya tarung yang konservatif. Dengan demikian, sebetulnya istilah Ayam Bangkok sudah tidak relevan lagi. Sehubungan dengan adanya kekacauan istilah ini, beberapa penghobi mencari istilah lain, misalnya Ayam Sabung atau Ayam Laga, tidak peduli dari ras dan bangsa mana ayam itu berasal.

Dari literature-literatur yang ada, telah diketahui bahwa budaya sabung ayam sudah ada di Nusantara sejak berabad-abad lalu. Salah satu cerita kuno menerangkan bahwa Raja Pajajaran menyelipkan sebutir telur ayam sabung di sisi keranjang anaknya yang dibuang. Kelak, jika suatu ketika ada ayam yang mampu mengalahkan ayam-ayam kerajaan, maka dipastikan ayam tersebut adalah turunan ayam Sang Raja, yang notabene berasal dari telur yang diselipkan di keranjang bayi... Demikianlah penggalan cerita Manarah alias Ciung Wanara, si anak raja yang dibuang, yang akhirnya kembali ke istana lantaran ayam Ciung Wanara merajai berbagai kalang ayam di berbagai tempat.

Dari literature diketahui pula bahwa selain ayam kampung, beberapa ayam asli Indonesia yang biasa dijadikan ayam sabung adalah Ayam Bali yang terkenal karena kelincahannya, Ayam Banten yang terkenal karena bobot pukulan dan ketahanan fisiknya, Ayam Ciparage yang terkenal karena pertulangannya yang besar, Ayam Batu dari Padang yang terkenal karena kecepatannya, dan masih banyak lagi.

POLEMIK ANTARA HOBI DAN JUDI

Ayam sabung identik dengan perjudian meski tidak semua penghobi ayam sabung menyukai judi. Saya misalnya, menyukai ayam sabung karena kegagahannya yang memiliki nilai estetik, dan agresifitasnya yang mencirikan semangat hidup. Memang sudah kodratnya ayam jantan itu pasti bertarung untuk mencapai kepastian status sosial mereka. Bukan hanya ayam, hampir semua hewan memiliki naluri seperti itu. Ketentraman sosial hewan akan terkendali apabila telah terbentuk strata berdasarkan kekuatan, melalui pertarungan antar sesama.

Para Raja dan Pembesar dahulu kala menjadikan ayam sabung sebagai simbol status. Ajang pertarungan ayam dijadikan media silaturrahmi. Tidak ada perjudian karena yang dicari hanya kepuasan batin semata.

Di Bali, sabung ayam menggunakan pisau adalah tradisi turun temurun yang memiliki nilai sakral, demikian pula di banyak tempat lainnya di Indonesia. Namun bagi penghobi seperti saya, pertarungan ayam hanyalah media olah fisik (olahraga) yang alami untuk mencapai kebugaran, kesehatan, dan perototan yang baik tanpa menghilangkan sifat alamiah ayam-ayam itu, untuk mencapai tujuan etis dan estetis dari pemeliharaannya, yakni menginspirasikan semangat hidup dan keindahan bentuk. Tak lebih.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;