Selasa, 09 Agustus 2011

Pengaruh hormon seksual pada kicauan dan perilaku “over birahi” burung

Selama ini, saya memendam sebuah pertanyaan yang selalu saya coba cari jawabnya, yakni apa hubungan antara tingkat birahi pada burung dengan tingkat “kegacoran” (frekuensi kicauan). Bentuk pertanyaan itu antara lain adalah, pertama, apakah semakin burung birahi, dia semakin gacor (rajin berkicau)? Pertanyaan kedua, apakah burung yang rajin berkicau berarti dia sedang birahi? Ketiga, apakah burung yang sama sekali tidak birahi berarti dia juga tidak mungkin berkicau sama sekali?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengganggu benak saya, sebab jika tingkat birahi berbanding lurus dengan tingkat kegacoran, maka burung yang tidak birahi tentulah tidak mungkin bisa gacor. Faktanya, banyak burung muda atau bahkan masih trotolan (yang secara biologis tidak mungkin dia sudah memasuki masa birahi) yang sangat gacor, tidak henti-hentinya berkicau, baik pagi, siang maupun sore hari.

Pertanyaan ini baru terjawab setelah saya membaca sebuah artikel di www.junglewalk.com. Dalam artikel berjudul A Concert of Bird, disebutkan bahwa kicau burung dapat dibagi menjadi 3 tipe, yakni nyanyian, siulan atau jeritan dan peniruan suara (singing, crying and voice imitating).

Ketika burung berkicau dalam artian “bernyanyi”, burung mengeluarkan suara bersuku kata banyak, melodius dan disuarakan secara terus-menerus. Bedanya “nyanyian” dengan tipe suara lainnya adalah bahwa nyanyian ini berada di bawah kontrol hormon seksual. Hal ini berbeda dengan suara siulan. Meski disuarakan secara terus-menerus dan juga melodius, siulan tidak berada di bawah kontrol hormon seksual. Kicauan dalam artian “bernyanyi” juga berbeda dengan apa yang disebut “peniruan suara” atau voice imitating.

Perbedaan lain antara “nyanyian” dan “siulan” adalah bahwa nyanyian disuarakan oleh burung berjenis kelamin jantan, sedangkan siulan disuarakan oleh burung baik jantan maupun betina.

Fungsi dari nyanyian burung jantan adalah sebagai suatu cara bagi burung untuk merayu pasangan, menandai dan mempertahankan wilayah mereka serta memperingatkan burung lain agar tidak masuk kawasan tersebut. Sedangkan fungsi siulan adalah alat berkomunikasi burung satu dengan lainnya, misalnya sebagai sebuah panggilan, pemberi peringatan akan datangnya bahaya, ekspresi keterkejutan, kesakitan dan juga ekspresi senang.

Kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan antara siulan dan nyanyian. Namun secara umum bisa disebutkan bahwa siulan tidak dipengaruhi oleh perubahan musim dan perubahan kondisi hormonal, serta bisa disuarakan oleh semua burung, baik jantan maupun betina, tua ataupun muda.

Bagaimana halnya dengan apa yang disebut sebagai voice imitating? Dalam artikel A Concert of Bird itu tidak ada perincian tentang “peniruan suara” tersebut. Bahkan di sana hanya disebut bahwa “makna biologis dari peniruan suara hingga kini belum diketahui secara pasti”.

Meski demikian, dari poin-poin yang disebutkan dalam artikel tersebut, saya sendiri kemudian menyimpulkan bahwa:

1. Semakin birahi seekor burung, maka dia akan semakin sering bernyanyi (gacor atau rajin berkicau).

2. Meski tidak birahi, semakin senang burung pada situasi atau kondisi tertentu, maka dia akan semakin rajin berkicau (dalam konteks bersiul secara terus-menerus dan juga melodius).

Antara over birahi dan galak

Namun pertanyaan lainnya segera menyusul, yakni benarkah burung-burung yang selalu menabrak sangkar dan seakan mau melabrak ketika melihat burung lain disebut over birahi? Menurut saya, burung yang berpeilaku demikian itu tidak bisa disebut over birahi. Burung ini hanyalah ingin menunjukkan bahwa dia tidak mau ada burung lain berada di sekitarnya yang tentunya dia anggap sebagai wilayah teritorinya.

Dengan demikian, usaha mengurangi ekstra fooding dan makanan lainnya untuk mengurangi “over birahi” yang seperti itu tidak akan pernah membawa hasil. Kalau dipaksakan, burung akan terlihat sakit, lemah tak bertenaga. Lantas, apa yang harus dilakukan jikia burung kita terlihat ganas dan garang atau galak terhadap burung lain? Menurut saya, hal yang perlu dilakukan adalah “menanamkan sikap toleran” pada burung itu atas keberadaan burung lain di sekitarnya.

Bagaimana caranya? Yah, caranya dengan mempertemukan burung tersebut dengan burung lain dalam jangka waktu tertentu. Dengan cara ini diharapkan masing-masing burung tidak akan memperlihatkan sikap ganas atau galaknya kepada burung lain yang ada di sekitarnya. Jika sikap toleran sudah terbentuk, barulah bisa diharapkan mereka hanya bersaing memperdengarkan suara atau nyanyian untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa di wilayah tersebut.

Dalam konteks apa yang saya sebutkan di atas itulah kita bisa memahami perlunya cas (charge) pada sesama anis merah (AM) sebelum digantangkan di arena lomba. Tanpa adanya upaya pemaksaan agar burung kita bertelorenasi dengan burung lainnya di arena lomba dengan cara cas sebelumnya, tidak mengherankan kalau anis merah kita hanya naik-turun tangkringan ingin mengejar musuh ketika digantang bersama anis merah lainnya.

Apakah penanaman sikap toleran itu hanya berlalu ketika burung akan digantang di arena lomba? Tentu saja tidak. Penanaman sikap toleran perlu dilakukan juga di rumah, khususnya untuk burung-burung yang terlalu sering bersikap galak dan ganas jika melihat burung lain. Latihlah untuk sering bertemu dengan burung lain, maka dia akan belajar untuk bertoleransi.

Meski demikian harus disadari, ada burung-burung tertentu yang pembawaannya sangat galak atau ganas dan tidak pernah mau bertoleransi meski sudah berkali-kali kita sandingkan dengan burung lain. Jika segala upaya sudah dilakukan namun tidak membawa hasil, maka kita harus menyadari pula bahwa sebagaimana halnya manusia, ada burung dengan sifat dan karakter tertentu yang tidak bisa diubah atau sulit diubah dengan cara apapun.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;